Industri pengolahan ikan tuna adalah salah satu yang berkembang di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Setiap harinya, industri pengolahan tuna memiliki permintaan ekspor 1-2 ton tuna segar dari Jepang.
Dengan besarnya permintaan, industri ini sebenarnya cukup berprospek. Sayangnya, industri ini mengalami hambatan dalam transportasi.
Dampaknya adalah makin besarnya ongkos distribusi produk. Kirim tuna segar yang sudah dikemas itu menggunakan pesawat (airfreight). Tapi, kelemahannya adalah harus lewat Jakarta (transhipment), baru diforward ke Jepang.
Dua hal yang menjadi kendala dalam hal ini, yakni masalah waktu dan biaya. Kiriman dengan transhipment akan selalu menambah waktu penyampaian. Bisa dalam hitungan jam, atau pada kondisi tertentu bisa dalam hitungan hari. Dari segi biaya, transhipment juga menimbulkan cost yang tinggi. Misalkan ongkos kirim ikan tuna dari Menado ke Jepang (transit Jakarta) total biaya sebesar USD 2,6 /kg, sementara kalau dikirim langsung ke Jepang mungkin ongkosnya hanya sekitar USD 1,4 /kg. Hampir separohnya.
Ketua Komisi Tuna Indonesia, Purwito Martosubroto mengatakan, “Sebaiknya memang diperlukan pesawat yang langsung bisa mendistribusikan tuna ke daerah tujuan, misalnya Jepang, pemerintah perlu mendukung adanya penerbangan langsung,” lanjutnya.
Dukungan transportasi adalah hal yang sangat diperlukan bagi industri pengolahan tuna agar bisa berkembang dan bersaing. Pasalnya, transportasi adalah masalah utama industri tuna di Bitung.